Monday, March 1, 2010

Tentang Kementerian Koperasi dan UKM

Tentang Kementerian Koperasi dan UKM

Di Indonesia, ide-ide perkoperasian diperkenalkan pertama kali oleh Patih di Purwokerto, Jawa Tengah, R. Aria Wiraatmadja yang pada tahun 1896 mendirikan sebuah Bank untuk Pegawai Negeri. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode.

Pada tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.

Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi. Hingga saat ini kepedulian pemerintah terhadap keberadaan koperasi nampak jelas dengan membentuk lembaga yang secara khusus menangani pembinaan dan pengembangan koperasi.

Sumber : http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=19&Itemid=83

A picture

Instructions for How to Play Congklak

Number of Players: 2

Object of the Game: to get as many shells as you can into your store house. Your store house is the hole at the end of the board on your left side.

To Win: You win the game if you have the most shells in your store house (menang biji) - or - if you are the last person to run out of shells on your side of the board (menang jalan).

To Play - The First Round

Count 7 shells into each of the holes on your side of the board. Leave your store house (at the end) empty. (If your board has less/more than 7 holes on each side, fill each hole with playing pieces equal in number to the number of holes on one side of the board).

Decide who will go first.

The first player takes all of the shells out of any hole on their side of the board. Move clockwise around the board and drop one shell into each hole in an effort to reach your own storehouse at the end of the board. Do not drop a shell into your opponent's store house.

If the last hole into which you dropped a shell:

Has shells in it - take all of the shells in that hole and put them in your store

house and continue moving around the board just like you did in the beginning of the game.

Is empty - leave your shell in that hole and end your turn. You are mati and it is now your opponent's turn.

Is your store house - You get another turn. Take all of the shells out of any hole on your side of the board and continue to play moving around the board clockwise.

Is empty + is on your side + you move gone around the board at least one time . Take this last shell, and all of the shells from your

opponent's hole which is directly across from you, and put them all into your store house. It is now your opponent's turn.

After the first player's turn ends (mati), the opponent begins his/her turn and plays in the same manner.

The round ends when one player runs out of shells on his or her side of the board. If you run out of shells first (kalah jalan), your opponent wins the round (menang jalan). The winner of the round goes first in the next round.

Second Round

When one player has run out of shells, both players take all of their shells out of their store house, as well as any leftover shells from their side of the board.

Each player recounts the 7 shells into each hole on their side of the board, starting with the hole nearest your own store house. If one player has leftovers after putting 7 shells into each hole, they are menang biji and put all the extra shells back into their store house.

Since the losing opponent will not have enough shells to put 7 in each hole, they must ngacang, have some holes with less shells. This is done by filling in as many holes as possible with 7 shells, and splitting the remaining shells up amongst the remaining holes on their side of the board. The ngacang holes are the holes closest to the opponent's home. The number of ngacang holes will depend on the number of shells remaining after the previous round of play, but should never be more than 3 holes. Some ngacang holes may even be empty if you're really low on shells.

The ngacang holes become protected from your opponent in this round. As your opponent goes around the board, they must skip these holes, not dropping a shell in them. Neither player can take shells from these holes - but you can drop shells in your own ngacang holes. Ngacang shells are also protected from tembak if your opponent ends up in an empty hole across from them.

This is an important, strategic handicap, as the player who has at least one shell in her rightmost hole can always continue the jalan on her side of the board.

In the second and successive rounds, the person who begins play is the one who goes out of shells last (menang jalan) in the previous round.

End of the game

Play continues with successive rounds until one player loses all of their shells, or both players wish to stop playing, at which time you would count the shells to see who has the most, and is thus the winner.

While the game is simple enough, strategies develop with practice and skill that enable the player to maximize the chances of having at least one shell left in a position to carry on the journey and to create the opportunity to harvest the opponent's shells in a tembak.

Players with mathematical talents have an advantage, for the rules enable the player to determine in advance whether she will win or lose before selecting an odd or even numbered pile of playing pieces.


source : expat

Kun fa Yakun, Laut Kering Jadi Lembah


Lembah Harau

Penasaran dengan sebuah legenda lautan yang mengering. Fenomena tersebut ada di Lembah Harau, di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar. Tak sekadar legenda, temuan surveyor tim geologi Jerman yang meneliti jenis bebatuan di objek tersebut, tahun 1980 lalu membuktikannya. Tim tersebut mengemukakan bahwa batuan di perbukitan Lembah Harau adalah batuan breksi dan konglomerat yang biasanya ditemukan di dasar laut.

Perjalanan menuju Lembah Harau menjanjikan catatan perjalanan yang mengagumkan. Udara yang masih segar, kita akan ditemani keindahan alam sekitarnya. Tentunya, tebing-tebing granit laksana gedung bertingkat zaman batu mengelilingi lembah. Tak tanggung-tanggung, tebing tersebut berketinggian 80 hingga 300 meter.

Jadi tak usah ragu. Memasuki Lembah Harau, sajian keindahan yang memukau sepanjang jalan sangat mudah untuk kita temukan. Sangatlah tepat kiranya, sebagian pemanjat yang telah kembali dari sini menjulukinya sebagai Yosemite-nya Indonesia. Tempat ini sudah lama menarik perhatian orang. Monumen peninggalan Belanda yang terletak di kaki air terjun Sarasah Bunta menunjukkan bahwa Lembah Harau sudah dikunjungi orang sejak 1926.

Di sini, walaupun tidak setinggi air terjun Bridalveil di Yosemite, terdapat empat air terjun (sarasah). Dengan ketinggian bervariasi mulai dari 50 hingga 90 meter. Air terjun tersebut mengalir dari atas jurang yang membentang di sepanjang Lembah Harau. Keempat air terjun itu adalah air terjun Aka Barayun, Sarasa Bunta, Sarasa Murai, dan Sarasa Luluh.

Sementara, pagar tebing cadas yang curam dan lurus menantang pencinta olah raga panjat tebing. Berada dalam taman wisata Lembah Harau, layaknya berada dalam sebuah benteng. Anda akan merasakan bagaimana “dikepung� tebing kemerahan dengan ketinggian mencapai 300 meter. Lembah ini merupakan jurang besar berdiameter mencapai 400 meter.

Selain pemandangan alam, di Lembah Harau terdapat cagar alam yang dihuni binatang langka asli Sumatera. Di antara satwa tersebut adalah monyet ekor panjang, primata jenis Maccaca fascicularis. Namun, Anda tetap harus hati-hati. Namanya saja monyet, yang binal dan suka usil. Tak jarang mereka mengambil makanan atau barang-barang bawaan pengunjung atau mencakar ketika didekati.

Selain itu, pencinta botani juga dapat menemui tanaman hutan hujan tropis dataran tinggi yang dilindungi. Jika beruntung, menurut masyarakat sekitar, kita juga bisa bertemu dengan harimau Sumatra, beruang, tapir dan landak yang hampir punah. Cagar alam Lembah Harau luasnya 27,5 hektar. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar alam sejak 10 Januari 1993.

Untuk mencapai Lembah Harau dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi darat. Jika anada mendarat dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) atau dari kota Padang, menuju ke Payakumbuh, perjalanan ditempuh selama 3 jam dengan menggunakan angkutan pribadi, angkutan umum atau angkutan sewa. Jika pilihannya angkutan umum ongkosnya berkisar antara Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per orang.

Dari Payakumbuh perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum yang melayani rute Payakumbuh-Harau. Namun, jika anda malas untuk perpindahan mobil, gunakan saja mobil pribadi atau sewaan. Tentunya biayanya lebih mahal, sekitar Rp400 ribu per hari. Atau, jika anda berada di Bukittinggi, jaraknya sekitar 47 kilometer saja, satu setengan jam perjalanan, anda akan sampai di sini.

Untuk masuk, dipungut retribusi untuk anak-anak Rp3 ribu per orang dan untuk dewasa Rp5ribu per orang. Bagi yang datang dari luar kota dan berniat bermalam, disini juga disediakan pondok kecil atau dan di dasar lembah untuk tempat menginap. Sewanya semalam bervariasi, mulai dari Rp50 ribu sampaiRp 2 juta per malam per kamar. Ingin lebih dekat dengan alam, disini juga diperbolehkan untuk berkemah.

Anda yang berminat untuk mencoba tantangan panjat tebing, ada kok pemandu yang akan membimbing untuk melakukan olah raga ini. Menyaksikan hamparan sawah mungkin sudah biasa. Namun, sesampai di puncak tebing, pemandangan hamparan sawah diapit oleh tebing-tebing tegak lurus menjulang, akan membuat anda berdecak kagum.

Memang, setiap orang yang datang pun berujar, tempat itu sangat indah, namun pengelolaannya belum baik. Banyak pekerjaan pemerintah daerah dan warga untuk membenahinya. (Sandy Adri)

sumber : Padang today

Coklat Bikin Gairah Membaca


KOMPAS.com — Cokelat banyak diminati orang karena rasa dan aromanya yang khas. Rasa cokelat yang nikmat itu sedemikian hebat sehingga dapat memberikan kesan seperti kecanduan. Ini adalah akibat adanya berbagai zat penting yang terkandung dalam bubuk cokelat (berasal dari kakao solid). Kandungan bubuk cokelat antara lain adalah zat yang lazim disebut sebagai phenyl-ethyl-amine (PEA). Zat ini berkemampuan meningkatkan penyerapan tryptophan oleh otak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kadar 5-hydroxy-tryptamine dalam jaringan otak. Zat yang terakhir ini akan segera membentuk dopamine, yakni suatu zat yang dapat memberi perasa nikmat (semacam kecanduan). PEA juga dapat bersifat sebagai aprodisiak, yakni mampu meningkatkan rangsangan seks (libido), baik pada laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu, pada zaman dulu para raja Aztez (cokelat mula-mula memang berasal dari Amerika Selatan) selalu meminum semangkuk cokelat sebelum berhubungan seksual dengan istri-istri mereka. PEA ini juga yang sering menimbulkan gejala craving (gejala ketagihan) pada cokelat yang terjadi pada sementara orang (terutama pada para ibu-ibu saat menstruasi). Cokelat juga mengandung sekelompok zat yang lazim disebut nacyl-ethanol-amine (NEA). Zat ini dapat bereaksi pada receptor cannabinoid di pusat saraf, yaitu sejenis reseptor pada sel-sel saraf, yang dapat memberi efek seperti rangsangan obat psikotropika. Oleh sebab itu, cokelat kadang-kadang dapat menimbulkan kesan fly bagi mereka yang mengkonsumsinya. @


Pendidikan yang menggelisahkan

KOMPAS.com — Selaku pendidik, Mochtar Buchori (Kompas, 9/2/2010) mencurahkan kegelisahannya (kegeliannya juga?) lewat tiga ”kalimat kunci”-nya. Kalimat kunci pertama adalah ”... dalam kasus kita sekarang, krisis moral jadi sumber krisis-krisis yang lain. .... Begitu pula keributan tentang ujian nasional, hemat saya adalah dampak dari krisis moral.”

Jalan keluar menerobos krisis moral itu hanya satu, yakni kita sendirilah yang harus mengendalikan krisis moral itu sekarang ini juga karena tidak mungkin krisis moral akan dihentikan oleh kekuatan lain/dari luar.

Kalimat kunci kedua, ”... krisis moral yang ada sekarang bisa menimbulkan krisis wibawa.” Jalan keluar utama yang ditawarkannya adalah hendaknya para politisi benar-benar tampil sebagai sosok yang berwibawa karena dunia politik dewasa ini adalah bidang yang pertama mengalami krisis wibawa.”

Adapun kalimat kunci ketiga berupa ”jawaban kunci”, yaitu kita membutuhkan pendidikan karakter supaya kehidupan politik bangsa tidak terus berjalan tertatih-tatih dan terlepas dari konteks masalah yang sedang terjadi.

Moralitas pendidikan

Alkisah, di hutan belantara yang lebat diselenggarakan sebuah sekolah untuk hewan-hewan dengan mata pelajaran utama berlari, memanjat, terbang, dan berenang, mengingat empat ”ilmu” itulah yang pasti membekali hewan-hewan untuk dapat sintas.

Kucing hitam memperoleh predikat summa cum laude untuk berlari dan memanjat, tetapi ia sangat sengsara dan benar-benar jelek untuk ”ilmu” berenang dan terbang. Si angsa justru kebalikannya, hanya dalam hitungan hari, ia sudah sangat mahir dalam mata pelajaran berenang dan terbang, tetapi benar-benar menderita lahir batin untuk memanjat dan berlari (baca tulisan Kak Seto dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI- editor Sindhunata; Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000).

Pesan moralnya jelas: setiap individu siswa pasti memiliki potensi yang mungkin sama, tetapi sangat mungkin berbeda. Ratusan, bahkan ribuan, siswa sangat mungkin memperoleh predikat summa cum laude untuk mata ujian Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi sangat mungkin ada jutaan siswa yang mengalami penderitaan lahir batin karena dua mata ujian itu.

Rupanya, di situlah ribut-ribut tentang ujian nasional disebut sebagai dampak krisis moral oleh Mochtar Buchori karena ada bahaya generalisasi yang menuntut ”kucing hitam harus sepotensi dengan angsa dan sebaliknya”. Moralitas pendidikan terletak pertama-tama pada model pendidikan yang berpusat pada anak/siswa, bukan berpusat pada pemerintah/kebijakan, guru, ataupun kepala sekolah. Artinya, siswa benar-benar sebagai pusat dan subyek utama semua kegiatan pendidikan dan karena itu sangat bertentangan dengan moralitas ketika dunia pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk hitung-hitungan dan arena bisnis.

Ribut-ribut sekitar ujian nasional jangan-jangan ada aspek-aspek bisnis di balik layarnya. Ketika aspek bisnis merasuki dunia pendidikan, yang muncul dan didengung-dengungkan adalah pentingnya persaingan (ketat) ataupun rivalitas antarindividu siswa, antarsekolah, dan antarinstansi. Situasi kompetitif memperlihatkan bahwa pelaku bisnis (termasuk pelaku bisnis dalam pendidikan pun) akan memperlakukan/menganggap pihak lain sebagai rival.

Dampak rivalitas tersebut adalah eliminasi. ”Eliminasi terhadap kecenderungan rivalitas yang sifatnya negatif ini harus beranjak dari suatu refleksi terhadap akibat yang menjadi dampak dari perkembangan menyimpang dari seluruh masyarakat kita” (Conny Semiawan, 2000:25).

Jadi, tantangan terberat model pendidikan berpusat pada anak adalah terciptanya rivalitas di berbagai strata. Maraknya tawuran antarpelajar atau mahasiswa atau antarmahasiswa dengan aparat sangatlah menggelisahkan dan hal ini harus kita catat sebagai dampak dari iklim rivalitas yang tercipta.

Kedua, moralitas pendidikan (termasuk krisis moralitasnya) terletak pada model pembelajaran yang seharusnya unlock the capacities, yakni gugus pembelajaran yang membuka kemampuan seoptimal mungkin yang dimiliki oleh setiap individu siswa. Karena itu, jika pembelajaran tidak membuka peluang lebar-lebar bagi berkembangnya potensi siswa, di situlah telah terjadi krisis moralitas dan hanya tercipta robot-robot yang pandai meniru belaka. Guru dapat menjadi ”tersangka” pertama/kunci apabila proses pembelajarannya tidak mengembangkan secara optimal potensi siswa.

Ketiga, moralitas pendidikan terletak pada right-based budget, yaitu sistem pengalokasian anggaran yang berbasis pada pemenuhan hak anak/siswa. Model alokasi anggaran, seperti bantuan operasional sekolah (BOS), sudah memenuhi syarat anggaran berbasis pemenuhan hak siswa secara individual karena unit analisisnya siswa. Semua alokasi anggaran pendidikan—tidak hanya BOS—seharusnya menggunakan unit analisis siswa, bukan seperti yang sampai sekarang dilakukan, yaitu berdasarkan perencanaan yang ”berbasis tahun lalu”. Kita semua tahu bahwa jumlah siswa ataupun karakteristik siswa selalu berbeda dari tahun ke tahun.

Menggelisahkan

Salah satu aspek pembentukan karakter terpenting, menurut C Semiawan (2000:29), adalah pendidikan harus mampu mendorong setiap individu itu melakukan pendakian terjal (the ascent of man). Dalam diri setiap siswa/anak, ada dua dorongan esensial, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri dalam lingkungan eksternal yang ditandai oleh berbagai perubahan cepat serta dorongan untuk mengembangkan diri, yaitu dorongan ingin belajar terus dan keinginan untuk mencapai ambisi tertentu.

Orang-orang semacam itulah yang (akan) memiliki karakter, tetapi, sayangnya, dunia pendidikan kita tidak serta-merta melakukan atau mengakomodasi dorongan-dorongan seperti itu. Tontonan dan informasi sehari-hari yang dilihat di televisi, atau dibaca di koran/majalah, seharusnya disadari bersama sebagai media belajar anak-anak/siswa kita. Karena itu, selayaknya yang disajikan adalah hal-hal yang dapat mendorong anak/siswa untuk melakukan pendakian terjal tersebut.

Sayangnya, yang tersaji adalah kerusuhan demi kerusuhan, demonstrasi anarkis dari satu tempat ke tempat lain; bahkan kalaupun berupa pidato tokoh, ia tampil sebagai tokoh yang tidak mempunyai sentuhan edukasi.

Apabila setiap hari asupan informasinya seperti itu, marilah kita semakin prihatin dan gelisah terhadap pertumbuhan karakter generasi muda kita. Gubernur Jawa Tengah pernah membagi-bagikan kaset berisi lagu-lagu nasional dan perjuangan ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Setiap pagi, seperempat jam sebelum jam masuk, lagu-lagu itu diharapkan disetel keras-keras agar siswa mendengar dan harapannya lama-kelamaan dapat menghayatinya sehingga karakter siswa terbentuk. Muluskah? Ternyata tidak.

Banyak sekolah yang mengeluh tidak memiliki tape recorder, apalagi pengeras suara; ada juga yang mengeluh tidak memiliki penjaga sekolah yang siap ditugasi karena ada guru yang merasa direndahkan martabatnya ketika diminta untuk mengurusinya. Rupanya, mengeluh adalah ”karakter” bangsa kita dewasa ini. Hal itu memang menggelisahkan, tetapi juga menggelikan.


sumber : kompas.com